Saat ini,
aktivitas peserta Pemilu dalam tahapan kampanye semakin meningkat seiring
dengan semakin dekatnya hari pemungutan suara 17 April 2019. Para kandidat atau
tim kampanye hampir setiap hari memiliki agenda dalam rangka kampanye. Namun
demikian, di lapangan ditemui berbagai macam pelanggaran terhadap larangan
kampanye. Diantara larangan kampanye yang dilanggar oleh peserta Pemilu adalah
larangan penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Pasal 280
ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur
bahwa pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat
ibadah, dan tempat pendidikan.
Undang-undang
mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan kampanye di Tempat Pendidikan,
Tempat Ibadah dan Fasilitas Pemerintah dikategorikan dalam 2 (dua) jenis
pelanggaran yaitu administratif (Pasal 280 ayat 4) atau pidana (Pasal
521).
Sanksi
Administratif
Pengaturan
sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang
dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu diatur dalam Ketentuan Pasal 280 ayat (4) yang mengatur bahwa
pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf
g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu. Dalam
ketentuan ini larangan pada Pasal 280 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf d, huruf
e, dan huruf h (Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat
pendidikan ) tidak termasuk tindak pidana Pemilu. Pelanggaran oleh Pelaksana,
Peserta dan Tim Kampanye yang bukan tindak pidana berarti termasuk kategori
pelanggaran admnistrasi (juncto Pasal 460 ayat 1 dan 2).
Penanganan
pelanggaran ketentuan Pasal 280 ayat (1) dari sisi penanganan pelanggaran
administratif diatur dalam Ketentuan dalam Pasal 309 ayat (2) UU 7 Tahun 2017
yang mengatur bahwa dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa
pelaksana kampanye, peserta kampanye, atau tim kampanye melakukan pelanggaran
kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) dalam pelaksanaan
kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat
kelurahan/desa, Panwaslu Desa/Kelurahan menyampaikan laporan kepada PPS.
Selanjutnya,
ketentuan Pasal 310 ayat (1) mewajibkan PPS menindaklanjuti temuan dan laporan
pelanggaran Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan / desa sebagaimana dimaksud
Pasal 309 ayat (2) dengan:
a. menghentikan pelaksanaan kampanye Peserta
Pemilu yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu setelah mendapatkan
persetujuan dari PPK;
b. melaporkan kepada PPK dalam hal ditemukan
bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu mengenai
pelaksanaan Kampanye Pemilu;
c. melarang pelaksana atau tim Kampanye
Pemilu untuk melaksanakan Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapat
persetujuan PPK; dan/atau
d. melarang peserta Kampanye Pemilu untuk
mengikuti Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapatkan persetujuan PPK.
Ketentuan
ayat (2) mewajibkan PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dengan melakukan tindakan penyelesaian sebagaimana diatur dalam
Undang-undang.
Pola
penanganan serupa, terhadap pelanggaran Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Pasal 314 ayat (2) dan Pasal 315 ayat (1) untuk tingkat kecamatan, Pasal
318 untuk tingkat Kabupaten, Pasal 320 untuk tingkat Provinsi, dan Pasal 322
untuk tingkat nasional yang merupakan pola penanganan pelanggaran administratif
dalam tahapan Kampanye Pemilu.
Ketentuan
Pasal 280 ayat (4) di atas diikuti KPU
ketika menyusun Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu,
sebagaimana diubah terakhir dengan PKPU 33 Tahun 2018, sehingga pelanggaran
tersebut dikecualikan sebagai tindak pidana Pemilu sesuai bunyi ketentuan Pasal
69 ayat (4) PKPU:
“Pelanggaran
terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j kecuali
huruf h dan huruf h1, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu”.
Hal serupa
diatur Pasal 76 (1):
“Pelanggaran
terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf
a sampai dengan huruf j kecuali huruf h, dan ayat (2) merupakan tindak pidana
dan dikenai sanksi yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Pemilu”
Selanjutnya
dalam Pasal 76 ayat (3) diatur sanksi administratif: Pelanggaran terhadap
larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dikenai
sanksi:
a. peringatan tertulis walaupun belum
menimbulkan gangguan; dan/atau
b. penghentian kegiatan Kampanye di tempat
terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan
terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah lain.
Sanksi
Pidana
Apabila
ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu
mengenai pelaksanaan kampanye, maka temuan dan laporan Panwaslu Desa/Kelurahan
kepada PPS dilaporkan kepada PPK, kemudian PPK menindaklanjuti laporan dengan
melakukan penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-undang (Pasal 310 ayat
2). Penyelesaian dimaksud adalah dengan meneruskan laporan dugaan pelanggaran
pidana kepada Panwaslu Kecamatan sesuai kewenangannya. Hal serupa perlu
dilakukan KPU Kabupaten/Kota terhadap laporan PPK sebagaimana diatur Pasal 315
ayat (1) huruf b dan ayat (2).
Ketentuan
pidana terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang, diatur dalam
ketentuan Pasal 521 UU 7 tahun 2017 yang mengamanatkan bahwa:
“setiap
pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar
larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.(dua puluh empat juta rupiah)”.
Selain
sanksi Pidana sebagaimana diatur Pasal 521, pelanggaran terhadap larangan
kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280, juga memiliki konsekwensi sanksi
administratif lanjutan sebagaimana diatur pasal 285 yaitu:
“putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada
pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota mengambil tindakan berupa:
a.
pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
dari daftar calon tetap; atau
b.
pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota sebagai calon terpilih”.