Oleh: Meidy Y. Tinangon
”Jika suatu ketika lapisan es di bumi mencair maka ketinggian permukaan air laut dapat dipastikan naik hingga 64 meter” demikian diungkap Antara news 23 Maret 2007.Nikolai Osokin, pakar glaciologi pada Institut Geografi, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, memperkirakan, kota-kota ditepi pantai kemudian tenggelam di bawah permukaan air, termasuk Belanda, yang sebagian besar wilayahnya notabene berada di bawah permukaan air laut. Bagaimanapun juga, baik Belanda maupun seisi planet bumi yakin bahwa kehancuran yang luar biasa dapat terjadi setiap saat dalam beberapa ribu tahun mendatang.
Pemanasan global (Global Warming) adalah bencana global bagi peradaban global yang sepertinya belum kita sadari. Apalagi bagi kita yang masih terperangkap dalam suatu pola pikir (mind set) dan pola tindak yang saya istilahkan sebagai: ”fenomena penumpang Titanic”.
Kita bertahan dalam paradigma berpikir bahwa bumi ini ibarat ”kapal besar , kokoh dan tak mungkin tenggelam”. Sama dengan paradigma berpikir para penumpang kapal besar Titanic yang sangat kagum dan percaya diri memandang Titanic sebagai kapal yang megah, kokoh dan tak mungkin tenggelam. Namun, tanpa kita sadari ternyata bumi perlahan-lahan bocor, hancur dan tenggelam sementara para ”penumpang bumi” lambat menyadarinya, sama halnya dengan para penumpang Kapal Titanic.
Disamping paradigma berpikir ”fenomena penumpang Titanic” di atas, kita memang demikian gampang untuk tidak menyadari bahwa bahaya lingkungan hidup global sudah berada di depan mata kita, karena sifat dari bahaya global bernama pemanasan global tersebut memang tidak langsung membunuh tapi dampaknya terjadi secara perlahan-lahan dan sebenarnya kita sedang merasakannya saat ini.
Tanda-tanda terjadinya pemanasan global sebenarnya telah dan sedang kita rasakan, ketika orang Manado berujar: ”so lebe’ panas komang s’karang kang ?” Termometer alami dalam tubuh kita memang merasakan daya sengat panas matahari saat ini lebih meningkat dibanding waktu-waktu yang lalu.
Tanda – tanda lainnya adalah ketika petani mengeluh karena musim yang tak menentu yang akhirnya mengacaukan pola tanam jenis yang bergantung pada keteraturan musim panas dan hujan. Suatu kondisi yang berbeda dengan kondisi tempo dulu, dimana petani tahu persis kapan musim panas – kapan musim hujan.
Di beberapa tempat di Jawa dan Sumatera, dua minggu yang lalu terjadi gelombang pasang air laut yang menyebabkan ratusan warga mengungsi. Gelombang pasang ini dapat juga terjadi karena pengaruh pemanasan global dan melting ice. Di laut dampak bencana global ini juga mulai terkuak. Hasil penelitian Global Coral Reef Monitoring Network menunjukkan, lebih dari dua pertiga terumbu karang di seluruh dunia telah rusak, bahkan terancam punah. Ancaman ini tak lain karena adanya pemanasan global yang tengah terjadi.
Pemanasan global merupakan ancaman besar yang terjadi sebagai akibat dari serangkaian peristiwa, yang nantinya akan kita temui bahwa asal muasal terjadinya berawal dari tindakan manusia yang tidak mampu memprediksi dampak kedepan, sehingga tidak antisipatif dan lebih mengutamakan kepuasan ekonomi semata tanpa memperhitungkan aspek keberlanjutan (sustainable) dari suatu planet bumi yang cuma ada satu.
Kisah ”amarah bumi” ini memang berawal dari aktifitas manusia. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah Kaca (ERK) yang sebenarnya adalah proses alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin.
Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itu lah yang disebut Efek Rumah Kaca.
ERK merupakan fenomena yang sama dengan yang bisa kita temui saat membiarkan mobil kita diparkir dalam keadaan panas terik dan kaca mobil tertutup rapat. Kita pasti akan merasakan panas yang hebat dalam ruang mobil kita, karena sisa panas yang masuk ke dalam mobil tak dapat dipantulkan keluar sebab tertahan lapisan kaca.
Sejak awal jaman industrialisasi, awal akhir abad ke-17, konsentrasi Gas Rumah Kaca meningkat drastis. Diperkirakan tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5 – 0.6 derajat Celcius akibat emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan dinitro oksida. Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transportasi, penggundulan hutan , dan pertanian . Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6 ) hanya menyumbang kurang dari 1% .
Tahun 1988, Antony Milne dalam bukunya berjudul ”Dunia di Ambang Kepunahan” (judul asli: Our Drowning World) menulis bahwa manusia menjadikan bumi rumah yang panas dengan cara penebangan pohon dan perusakan tumbuhan dalam jumlah yang besar. Karena bila bahan bakar fosil (dalam bentuk tanaman yang mati atau tertimbun) dibakar, dan bila pohon-pohon yang hidup ditebas, sejumlah besar karbon dioksida (CO2) dilepaskan ke dalam atmosfer.
Milne tidak sembarang bicara, dia mengungkap fakta hasil riset yang mencengangkan mengenai penggunaan bahan bakar fosil. Sejak Revolusi Industri, sebanyak 400.000 milyar ton gas CO2 dilepaskan ke udara. Dan sejak awal abad -20 kita menggunakan begitu banyak batu bara, minyak dan minyak tanah untuk mengolah perekonomian kita sehingga menambah 20 % jumlah gas ini. Sehingga diperkirakan sebanyak 5,5 milyar ton molekul karbon dipompa ke dalam ekosistem setiap tahun. Hal tersebut diperparah oleh perusakan hutan yang pertumbuhannya mencapai hutan klimaks membutuhkan waktu 50 sampai 100 tahun. Padahal hutan (dan juga samudera) sering disebut sebagai paru-paru bumi yang mengendalikan keseimbangan oksigen dan karbondioksida. Jika Karbondioksida dalam jumlah yang berlebihan maka gas ini akan memerangkap atau manahan panas yang harusnya dipantulkan kembali ke atmosfer bagian atas. Disinilah muncul Efek Rumah Kaca (ERK).
Jadi, ERK menyebabkan panas bumi, disebabkan oleh emisi GRK yang tinggi ke udara akibat penggunaan bahan bakar fosil dan berbagai bentuk kegiatan manusia yang melepas GRK, diperparah dengan degradasi hutan atau tumbuhan yang sebenarnya dapat menyerap CO2 lewat proses fotosintesis.
Apa yang perlu kita lakukan ?
Kondisi bumi yang panas akhirnya kita sadari merupakan ulah kita sendiri misalnya dengan menghasilkan emisi karbon dan menghilangkan hutan di lingkungan sekitar kita. Ancaman global berwujud pemanasan global, mau tidak mau harus kita tangani kalau ingin anak cucu kita menikmati kehidupan yang lebih sejuk dan nyaman.
Tak usah berbuat yang diluar batas kemapuan kita. Berbuatlah dahulu dalam skala lokal untuk menghadapi bahaya global. Kita memang hanya menempati setitik tempat dalam peta dunia, namun bukan berarti lokalitas kita yang kecil tidak bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi penanggulangan pemanasan global. Kita harus segera bertindak sebelum panas global yang meningkat akhirnya semakin mengacaukan iklim, mencairkan es di kutub dan ancaman banjir global, gelombang pasang dan bahaya ikutan lainnya menyerang kita.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir. Rahmat Witoelar dalam sambutannya memperingati hari lingkungan 5 Juni 2007 yang lalu, mengungkap bahwa Indonesia akan memberi kontribusi global sebagai tuan rumah Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan berlangsung di Bali, 3 - 14 Desember 2007. Pertemuan yang akan dihadiri oleh 10.000 peserta dari 189 negara akan menyepakati berbagai upaya pencegahan pemanasan global yang sangat terkait dengan pelestarian hutan, adaptasi kenaikan permukaan air laut, perubahan iklim serta penggalangan dana internasional untuk kegiatan berkelanjutan. Dengan momentum ini, Indonesia akan berperan aktif dalam diplomasi internasional membela kepentingan lingkungan secara nasional dan global.
Sementara itu mengenai cara menghadapi ancaman global ini, pak Menteri menyebut dua kategori yaitu dengan upaya ”adaptasi” dan ”mitigasi”. Kegiatan beradaptasi antara lain menanam pohon. Kegiatan mitigasi atau pengurangan efek gas rumah kaca dapat dilakukan dengan hemat energi, tidak konsumtif, mengurangi dan mengelola sampah, serta efisiensi penggunaan transportasi.
Upaya-upaya sederhana perlu kita mulai sekarang dari rencana tindakan – tindakan lokal. Jika banyak region lokal bertindak dengan menanam pohon (penghijauan) maka tindakan lokal dalam kuantitas besar akhirnya menjadi kekuatan global menghadapi ancaman global. Pohon meningkat berarti membantu mengurangi gas CO2 di udara.
Menghemat energi dan tidak konsumtif perlu menjadi budaya hidup kita. Kita hidup di negara miskin namun penduduknya sangat konsumtif, sementara negara kaya sudah sejak lama memikirkan kembali perilaku mereka yang konsumtif dan mulai mebudayakan hidup hemat yang pro pelestarian lingkungan. Sampah harus diolah jangan menambah emisi karbon jika kita hanya berpikir timbun dan bakar. Daur ulang sampah dapat memberikan nilai tambah misalnya dengan mengolah sampah organik menjadi biogas dan pupuk organik sedangkan sampah anorganik dapat diolah menjadi bahan bermanfaat.
Semua itu harus dimulai dari munculnya kesadaran dan perubahan paradigma berpikir karena segalanya telah berubah tetapi - meminjam istilah Einstein – ”... yang belum berubah adalah cara berpikir kita”.
Kita harus mengubah paradigma berpikir dari paradigma ”Titanic tanpa kewaspadaan” menuju ”Titanic dengan kewaspadaan”. Bumi kita memang ibarat kapal yang besar – seperti Kapal Titanic – tapi, ingat bumi kita seperti juga Titanic bisa hilang keseimbangan, hancur dan menurut Anthony Milne sudah diambang kepunahan. Karena itu, tetap waspada dengan bertindak pro lingkungan. Sekali lagi, save the earth dan waspadalah !!!
(***)
MEIDY TINANGON, MSi., Peneliti lingkungan pada Lembaga Riset dan Pengembangan Sains FMIPA UKIT; Dosen Progdi Biologi Konsentrasi Biologi Lingkungan FMIPA UKIT; Penasehat Mapala ”Biofarma” FMIPA UKIT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar