Ketua Dewan Penggerak
GERAKAN MINAHASA MUDA (GMM)
I. Introduksi
Imperialisme ???
Imperialisme atau penjajahan dalam kesadaran banyak orang Minahasa, dianggap merupakan suatu kondisi masa lalu yang sudah dilewati. Bukankah sejak 17 Agustus 1945, negara kita Indonesia telah merdeka ?
Ternyata imperialisme dalam bentuk penjajahan dan penguasaan bangsa penjajah yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia (bersama bangsa-bangsa yang berhimpun dan berkomitmen di dalamnya, termasuk bangsa Minahasa) hanyalah bagian kecil dari bentuk imperialisme.
Dalam situasi kekinian global, imperialisme tidak hanya berwujud perang untuk saling menguasai atau merebut teritori tertentu, namun imperialisme ternyata hadir dalam berbagai wujud dan penyamaran. Menariknya, imperialisme tersebut meng-ada dalam situasi sosial yang lagi asyik meneguk madu modernitas, kesenangan dan euforia terhadap produk teknologi dan tayangan media. Bangsa Minahasa atau Tou (orang) Minahasa pun dalam keasyikannya menikmati kemajuan peradaban tersebut, tanpa sadar telah terkungkung dalam penjajahan zaman yang hadir dalam berbagai wujud.
Bangsa Minahasa, tanpa sadar sedang dijajah........
‘teritori identitasnya’ kabur akibat instalasi budaya asing, atau bahkan dapat disebut kehilangan identitas !!!
II. Imperialisme Budaya
a. Imperialisme budaya: Prosesnya dahulu dan kini
Fakta zaman dahulu menunjukan, bangsa yang hidup di Bumi Nusantara ini adalah bangsa yang besar. Demikian juga catatan sejarah menunjukan bahwa Minahasa merupakan salah satu bangsa yang besar dan kaya, bukan saja alamnya tetapi budayanya. Tapi kini, ratusan tahun kemudian, bangsa yang sudah menyatu dan berganti nama menjadi Indonesia ini malah mencapai titik nadir terendahnya. Prosesnya menurut serbasejarah.Wordpress.com:
Proses degradasi dan regresi yang terjadi dimulai sejak masuknya budaya asing seiring datangnya bangsa-bangsa asing untuk tinggal menetap di Bumi Nusantara. Keramah tamahan dan kehangatan pribumi dalam menyambut tamu-tamu asing berbuah aneksasi dan kolonialisasi. Panji-panji Gold, Glory dan Gospel berkibar di seluruh penjuru Bumi Nusantara semata-mata untuk mengeruk kekayaan alam yang berlimpah hingga menimbulkan kerusakan dan kebinasaan di seantero negeri.
Kerusakan yang paling parah justru terjadi pada aspek budaya. Atas naman ajaran agama, nilai-nilai budaya bangsa distigma sebagai sesuatu yang penuh berhala, musyrik dan biadab sehingga boleh dihancurkan atas nama Tuhan. Tata kehidupan sosial yang berlandaskan pada nilai-nilai budaya lokal menjadi porak poranda dan carut marut. Politik adu domba dan pecah belah yang penuh dengan intrik dan tipu muslihat direkayasa untuk menghasilkan silang sengketa antar anak bangsa sebagai upaya penumpasan terhadap berbagai kemungkinan adanya potensi perlawanan.
Seiring berjalannya waktu, dengan semakin tingginya tingkat kemajuan ilmu pengetahuan, proses dan teknik penghancuran terhadap bangsa ini jauh semakin canggih dan elegan pula. Pilihan-pilihan cara yang represif tak lagi digunakan berganti dengan cara-cara yang lebih mengedepankan pendekatan humanitarian. Proses cuci otak dan indoktrinasi melalui rekayasa sosial menjadi pilihan utama untuk bisa membuat bangsa ini tunduk dan takluk dibawah imperialisme budaya bangsa-bangsa asing.
Rekayasa sosial melalui proses cuci otak dan indoktrinasi yang dilakukan dengan melalui sistem kelembagaan formal yang sudah diformat sedemikian rupa untuk menjalankan program-program yang sudah memang dipersiapkan sebelumnya. Lembaga pendidikan dan media massa adalah dua alat yang sangat potensial untuk bisa mencetak manusia-manusia baru Indonesia yang bersikap dan berperilaku sesuai dengan standar spesifikasi yang mereka tentukan.
Lembaga pendidikan bertugas untuk menginstalasi pola dan struktur berpikir dengan dalil dan aksioma rasional yang tertabulasi dalam satuan-satuan logika kuantitatif sebagai pisau analisa yang digunakan dalam melakukan setiap upaya penuntasan masalah.
Sementara media massa bertugas untuk memproduksi tontonan dan hiburan yang mampu menghipnosis alam bawah sadar agar bergaya hidup sebagai penyembah dan penghamba kesenangan duniawi yang berorientasi pada harta, ketenaran dan segala sesuatu yang bersifat kebendaan.
Dari dua lembaga sosial-budaya tersebut lahirlah anak-anak bangsa yang tak lagi mengenal nilai-nilai budaya bangsanya. Maka tak heran jika saat ini bangsa yang pernah mengalami kejayaan dan kegemilangan di masa lalu telah mengalami keterpurukan yang luar biasa di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Suka atau tidak, bangsa ini adalah bangsa yang telah kehilangan jati dirinya sebagai sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang begitu bangga menjadi subordinasi dari imperialisme budaya bangsa lain.
b. Budaya penentu eksistensi: Pengalaman Turki, Jepang, Indonesia
Budaya merupakan magnet yang kuat untuk menentukan eksistensi suatu bangsa. Contoh kehancuran dan eksistensi bangsa yang ditentukan oleh kemampuan bangsa tersebut mempertahankan budaya dapat dilihat dari pengalaman Turki dan Jepang, yang memiliki pengalaman yang kontradiktif. Hal yang khas juga terjadi dalam imperialisme budaya di negeri kita Indonesia, sebagaimana catatan Abdul Mu’nim berikut ini:
Turki dengan kekhalifahan Dinasti Usmani yang sangat besar itu, tiba-tiba diganti oleh Kemal Attaturk dengan tradisi Barat secara total, sejak dari sistem pemerintahan, sistem pendidikan dan perekonomiannya. Hingga saat ini Turki tidak menjadi negara besar, bahkan semakin kecil, mau masuk ke Uni Eropa saja gagal baik karena diskriminasi maupun karena kemajuan negara itu yang tidak berarti walaupun sudah membaratkan diri mereka secara total. Justeru karena pembaratannya, damn imitasinya itu Turki kehilangan kepribadiannya. Dengan tanpa kepribadian tidak mungkin suatu bangsa bisa berkembang dan disegani orang.
Sebaliknya bangsa Jepang, ketika ditaklukkan Amerika hanya satu permintaan Kaisar yaitu bangsa Jepang ingin dibolehkan hidup dengan tradisi bangsa Jepang: Sistem politik Jepang, sistem pendidikan Jepang, sistem kalender Jepang dan penggunaan huruf Jepang. Berbeda dengan Turki yang terpuruk, Jepang dengan kejepangannya mampu menampilkan diri sebagai Negara yang maju bisa berdiri dan duduk sejajar dengan peradaban Barat, tetapi tidak meninggalkan tradisi, justeru Jepang maju dengan modal tradisi.
Sementara kita sejak awal melakukan modernisasi terutama sejak Orde Baru langkah yang dilakukan adalah menghancurkan tradisi, karena tradisi dianggap sebagai penghalang kemajuan. Maka sekarang ini sedikit sekali tradisi yang tersisa. Apalagi dengan gencarnya siaran media, hampir tidak lagi mengapresiasi tradisi sendiri, semuanya menyuguhkan budaya asing yang dianggap lebih modern. Setiap hari kebudayaan sendiri semakin tersisih, sementara budaya asng semakin mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kejadian itu bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan direkayasa dengan harapan bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain kalau bangsa ini telah mengambil budaya lain. Maka yang terjadi adalah peniruan atau imitasi dan penjiplakan, sementara tidak mungkin orang bisa besar dengan menjiplak, pasti kualitasnya di bawah budaya utama. Maka akhirnya daya saing yang diharapkan tidak pernah muncul, sementara kebudayaan sendiri terlanjur sudah dikesampingkan, tidak dihormati oleh bangsa sendiri.
Baru ketika bangsa lain menghormati kebudayaan kita, kita buru-buru ikut mengapresiasi kebudayaan sendiri, yang sudah kita tinggalkan, akhirnya bangsa asinglah yang menguasai kebudayaan kita. Sementara imperialisme kebudayaan ini adalah bagian penting dari imperialisme politik dan ekonomi, maka imperialisme kebudayaan dijalankan dalam rangka memperlancar imperialisme politik dan ekonomi itu.
Dengan imperialisme kebudayaan itu kita tercerabut dari kebudayaan sendiri, akhirnya kita sebagai gelandangan budaya dan mengalami kemiskinan budaya. Sehingga menjadi bangsa yang tidak memiliki imajinasi, bangsa yang kehilangan mimpi sehingga tidak bisa menjadi bangsa yang cerdas dan kreatif. Memang hidup dengan basis kebudayaan sendiri yang sudah terlanjur diremehkan, dihinakan agak repot, kecuali bagi orang yang penuh percaya diri. Padahal hidup dengan kebudayaan sendiri itulah kunci kemajuan, dengan budaya sendiri seseorang atau suatu bangsa akan memiliki kepribadian. Dengan berkepribadian itulah bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain.
.
Sebaliknya bangsa Jepang, ketika ditaklukkan Amerika hanya satu permintaan Kaisar yaitu bangsa Jepang ingin dibolehkan hidup dengan tradisi bangsa Jepang: Sistem politik Jepang, sistem pendidikan Jepang, sistem kalender Jepang dan penggunaan huruf Jepang. Berbeda dengan Turki yang terpuruk, Jepang dengan kejepangannya mampu menampilkan diri sebagai Negara yang maju bisa berdiri dan duduk sejajar dengan peradaban Barat, tetapi tidak meninggalkan tradisi, justeru Jepang maju dengan modal tradisi.
Sementara kita sejak awal melakukan modernisasi terutama sejak Orde Baru langkah yang dilakukan adalah menghancurkan tradisi, karena tradisi dianggap sebagai penghalang kemajuan. Maka sekarang ini sedikit sekali tradisi yang tersisa. Apalagi dengan gencarnya siaran media, hampir tidak lagi mengapresiasi tradisi sendiri, semuanya menyuguhkan budaya asing yang dianggap lebih modern. Setiap hari kebudayaan sendiri semakin tersisih, sementara budaya asng semakin mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kejadian itu bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan direkayasa dengan harapan bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain kalau bangsa ini telah mengambil budaya lain. Maka yang terjadi adalah peniruan atau imitasi dan penjiplakan, sementara tidak mungkin orang bisa besar dengan menjiplak, pasti kualitasnya di bawah budaya utama. Maka akhirnya daya saing yang diharapkan tidak pernah muncul, sementara kebudayaan sendiri terlanjur sudah dikesampingkan, tidak dihormati oleh bangsa sendiri.
Baru ketika bangsa lain menghormati kebudayaan kita, kita buru-buru ikut mengapresiasi kebudayaan sendiri, yang sudah kita tinggalkan, akhirnya bangsa asinglah yang menguasai kebudayaan kita. Sementara imperialisme kebudayaan ini adalah bagian penting dari imperialisme politik dan ekonomi, maka imperialisme kebudayaan dijalankan dalam rangka memperlancar imperialisme politik dan ekonomi itu.
Dengan imperialisme kebudayaan itu kita tercerabut dari kebudayaan sendiri, akhirnya kita sebagai gelandangan budaya dan mengalami kemiskinan budaya. Sehingga menjadi bangsa yang tidak memiliki imajinasi, bangsa yang kehilangan mimpi sehingga tidak bisa menjadi bangsa yang cerdas dan kreatif. Memang hidup dengan basis kebudayaan sendiri yang sudah terlanjur diremehkan, dihinakan agak repot, kecuali bagi orang yang penuh percaya diri. Padahal hidup dengan kebudayaan sendiri itulah kunci kemajuan, dengan budaya sendiri seseorang atau suatu bangsa akan memiliki kepribadian. Dengan berkepribadian itulah bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain.
.
c. Fakta Imperialisme Budaya terhadap Bangsa Minahasa
Bangsa Minahasa kita kenal memiliki budaya-budaya, kearifan-kearifan luhur dan unggul yang berwujud nilai kebersamaan dan kemanusiaan (mapalus,Tumou-tou, masawang-sawangan, maesaan, matombol-tombolan), kerja keras (tumani, mawale), keberanian dan sikap pejuang, manusia cerdas dan kreatif (tou ngaasan), demokratis (memilih langsung hukum tua), manusia yang kaya nilai luhur dalam tradisi di masing-masing wanua dan berbagai hasil karya dan karsa manusia Minahasa lainnya.
Budaya Minahasa tersebut, sebenarnya menjadi kekuatan torang. Tetapi, jika kita menelisik jauh ke dalam sendi kehidupan Tou Minahasa, kita akan menemukan karakter-karakter yang kontras yang kemudian sangat dominan dalam keminahasaan masa kini.
Sebut saja, sikap individualisme yang kontras dengan semangat mapalus dan tumou-tou, budaya ‘instant’, cari gampang, budaya shortcut atau jalan pintas yang kontras dengan nilai-nilai kerja keras dan sikap sebagai bangsa pejuang. Baku Cungkel yang kontras dengan tradisi matombol-tombolan. Korupsi yang kontras dengan karakter anti papancuri yang mengakar dalam tradisi di hampir semua wanua tempo dulu. Sikap ‘nrimo’ , ABS (Asal Bapak Senang), tidak kritis, yang sangat beda dengan karkater para pendahulu bangsa Minahasa yang sangat kritis dan cerdas, dan karena itu posisi bergaining orang Minahasa menjadi sangat kuat.
Darimana asalnya perubahan budaya dalam komunitas Minahasa tersebut ? Sumbernya adalah berbagai model imperialisme yang dimediasi oleh berbagai faktor diantaranya: struktur dan hegemoni negara (imperialisme negara/struktural), “tarian dan rayuan kata-kata manis” media (imperialisme media), kemajuan bidang teknologi informasi (imperialisme virtual/digital), pengaruh salah didik (imperialisme pedagogik), struktur pendidikan dan kurikulum pendidikan (imperialisme sistem edukasi), imperialisme melalui buku dan bahan bacaan lainnya (imperialisme literatur) dan mungkin bentuk-bentuk imperialisme lainnya yang mempengaruhi budaya kita.
III. Menggagas Gerakan Kebudayaan Tou Minahasa Menghalau Imperialisme
Pertanyaan penting kita adalah: Jika memang imperialisme telah semakin sangat mengancam sendi-sendi kehidupan ber-Minahasa, maka bagaimana sikap torang untuk menghadapi kepungan imperialisme budaya ?
Usaha yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan gerakan-gerakan kultural / gerakan kebudayaan.
Bagaimana model gerakan kebudayaan bagi Minahasa ?
Menurut Mustofa Hasyim, gerakan kebudayaan harus memperhatikan kondisi obyektif lingkungan kebudayaan, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan eksternal.
Berikut saya coba menawarkan gambaran lingkungan eksternal dan internal kebudayaan / peradaban Minahasa serta tawaran strategi gerakan kebudayaan Tou Minahasa.
Tabel 1. Tawaran Model dan Strategi Gerakan Kultural Minahasa (Pendekatan Tingkatan Tujuan Gerakan)
No
|
Tujuan
|
Level & Model
|
Strategi & taktis
|
1.
|
Menggali nilai luhur budaya lokal dan kearifan lokal serta memformulasikannya sebagai platform budaya Minahasa
|
Level: Kajian
Model: Gerakan Intelektual-Kultural
|
- Analisis budaya membentuk profil / platform kebudayaan
- Ziarah dan kajian kultural
|
2.
|
Melakukan filterisasi, seleksi, adopsi ataupun resistensi terhadap budaya eksternal
|
Level: Kajian dan aksi
Model: Gerakan Intelektual-kultural
|
- Analisis media, bedah buku, bedah berita
- Formasi akulturasi
- Kampanye kontra budaya
|
3.
|
Sosialisasi budaya
|
Level: Aksi
Model: Gerakan Internalisasi Kultural
|
- Road show
- Image Building
- Media Campaign
- Seminar
- “Penginjilan” budaya
|
4.
|
Penguatan Nilai Budaya
|
Level: Aksi
Model: Gerakan Seni dan Sastra
|
- Event seni budaya lokal
- Penghargaan
|
5.
|
Kontra Budaya Asing
|
Level: Aksi
Model: Gerakan Kontra Budaya
|
- Aksi dan Kampanye kontra budaya
- Cth. Kampanye anti narkoba
|
6.
|
Penciptaan budaya baru
|
Level: sintesis
Model: Gerakan Inovasi Budaya
|
- Ekonomi kreatif
- Cipta karya seni dan sastra khas Minahasa
|
7.
|
Evaluasi budaya
|
Level: kajian
Model: Gerakan intelektual
|
- Seminar
- Studi perbandingan
|
Tabel 2. Strategi Gerakan Kultural Minahasa
(pendekatan kontra media imperialisme)
Media Imperialisme Budaya
|
Strategi Kontra Media Imperialisme
| ||
Jenis Media
|
Bentuk
|
Strategi
|
Taktis
|
Struktur negara
|
Pemaksaan, homogenisasi, sentralisasi
|
Perlawanan kontra kebijakan negara
|
Lobby, aksi massa, class action, regulasi anti sentralisasi,
|
Media massa cetak dan eklektronik
|
Instalasi budaya asing melalui pemberitaan dan opini, gambar dan seni
|
Media vs Media
|
Analisis teks, Akses thd media, membuat media baru
|
Teknologi Informasi
|
Instalasi budaya asing dengan akses IT
|
Penguasaan IT
|
Website Budaya
|
Struktur dan kurikulum pendidikan
|
Homogenisasi, sub ordinasi budaya
|
Kontra sturktural
|
Perjuangan otonomi dan muatan lokal
|
Literatur
|
Dogmatisasi lewat tulisan
|
Kontra literatur
|
Lembaga penerbitan, selective literary
|
IV. Penutup
Demikian beberapa pokok pikiran bagi gerakan kebudayaan Minahasa. Gagasan ini bermaksud merangsang gagasan yang lebih valid tentang strategi kebudayaan Minahasa melawan imperialisme budaya. Tentu saja belum sesempurna yang diharapkan. Namun, paling tidak tulisan ini akan menambah amunisi dalam perjuangan keminahasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar