Sejak pagi hari, dikala Sang surya mulai mengintip di balik pegunungan, sejak sepasang mata kita terbuka menikmati alam rajutan Sang Khalik, hingga malam ketika gelap menyelimuti bumi dan tubuh kita rebah dalam pelukan ranjang empuk, hingga sepasang mata kita menutup menjemput mimpi. Cobalah amati aktivitas kita, sebagai apapun kita.
Mau mandi, aneka produk mulai dari sabun hingga shampo dengan merek beraneka rupa, telah menanti jamahan kita. Mau minum kopi di pagi atau sore hari, tinggal colok kabel power water dispenser dan tekan tombol untuk menghangatkan air yang kemudian dicampur dengan kopi instan dan gula dalam sebuah gelas. Mau makan, rice cooker telah siap melayani kita dengan kemampuan memasak nasi dan memanaskan makanan lainnya. Mau berkomunikasi, tak perlu lagi merangkai kata-demi kata dalam secarik kertas surat karena hanphone dengan berbagai merek dan variasi telah menjadi barang wajib di era ini. Ke kebun pun, petani kita tetap lengket dengan ha pe. Kalau Cuma kebutuhan akan informasi dan hiburan, kita telah mengenal televisi cukup lama. Terkini, dunia internet telah menjadi milik hampir semua usia, dari anak-anak sampai opa-oma. Mau bukti, coba amati orang-orang yang aktif dalam jaringan sosial internet seperti facebook, akan kita temui lelaki dan wanita dari berbagai lapisan usia, pun dari beragam status.
Berbagai produk teknologi telah menjadi bagian kehidupan manusia, termasuk kita manusia Minahasa, tou Minahasa. Sepintas, berbagai kemajuan itu membawa dampak positif bagi kita, tou Minahasa. Namun, pernakah kita memikirkan peran dan posisi kita dalam segala kemajuan itu ? Pernakah kita berpikir tentang dampak negatif segala kemajuan dunia dalam eksistensi identitas ke-Minahasaan kita ? Pernakah kita memikirkan bahwa diantara berbagai kemajuan itu, telah dan sedang menenggelamkan kita dalam gelora lautan bernama globalisasi ?
Aneka produk yang disuguhkan di hadapan kita – apalagi yang telah melalui proses industri – umumnya bukan merupakan hasil karya cipta kita, tou Minahasa. Padahal, aneka produk industri tersebut, bahan bakunya ada atau bisa diadakan di tanah kita yang subur. Atau, jangankan bicara tentang produk luaran industri, untuk bahan kebutuhan hidup sehari-hari, sebut saja bawang, rica, tomat (barito) dan bahan baku dapur lainnya kita harus mencarinya di pasar, sementara halaman kita terbiar ditumbuhi rerumputan. Untuk fenomena ini tak berlebihan jika penulis menyimpulkan kita sedang menjadi mahluk dengan budaya konsumtif. Posisi kita dalam segala kemajuan peradaban yang sarat teknologi ini adalah kelompok manusia, komunitas penikmat. Kontras dengan apa yang di agung-agungkan oleh pendahulu kita bahwa Minahasa adalah komunitas yang unggul dan produktif. Kontras dengan segala laporan-laporan sorga telinga dan asal bapak senang (ABS) di bidang pendidikan ataupun potensi sumber daya alam.
Dalam perspektif lainnya, kemajuan-kemajuan teknologi dengan segala kemudahan ternyata belum siap kita terima kendatipun kita termasuk komunitas yang cepat menyerap segala bentuk kemajuan dan mudah sekali menjadi penikmat kemajuan itu. Kita malu disebut kolot dan tradisional karena tidak akrab dengan kemajuan teknologi. Jadinya, kita kemudian menjadi manusia penikmat abadi. Enak memang kalau tinggal menikmati, hingga kemudian kita menjadi malas berpikir dan mencipta. Coba lihat, tren kesenangan terhadap pekerjaan. Sebagian besar lulusan sekolah dan perguruan tinggi lebih senang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hanya sebagian kecil saja yang mau bersusah-susah membuka lapangan kerja sendiri dengan modal IPTEK dan potensi alam. Meskipun hal itu masih mendingan, ketimbang mereka melakoni pekerjaan jalan pintas seperti Pekerja Seks Komersial (PSK) yang memang dari berbagai laporan, cukup banyak dilakoni kaum muda Minahasa. Kita ternyata adalah komunitas penikmat dengan mentalitas shortcut, jalan pintas, cari gampang. Dengan realitas ini, malu rasanya membanggakan diri sebagai bangsa dengan mental pejuang sebagaimana kisah-kisah heroik dan patriotis seperti kisah perang Tondano, Peristiwa 14 Februari hingga Permesta.
Dalam cakrawala pandang yang lebih luas, kisah Sang Penikmat bagi bangsa ini, semakin dipertegas lagi jika kita menyimak dampak serbuan media dan teknologi informasi. Dua hal yang dewasa ini sangat kita nikmati, namun ternyata telah menggerogoti akar-akar nilai budaya kita bahkan identitas kita. Media menyuguhkan berbagai informasi yang bukan saja punya nilai berita (news) dan hiburan (infotainment) tetapi dengan halusnya juga tengah merecoki pikiran anak negeri Minahasa dengan nilai dan ideologi baru. Virus-virus hedonisme, materialisme, individualisme, barat-isme dan beragam turunan globalisasi telah marangsek masuk dalam proses internalisasi dan kemudian proses kendali jiwa dengan nilai-nilai baru. Hampir tak ada tempat untuk nilai-nilai lokalitas kita. Fenomena pergeseran nilai atau degradasi nilai yang terbungkus manis oleh madu kemajuan ini, semakin halus dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi. Hanphone dengan segala fitur yang mengasyikan dan kemudahan informasi tanpa batas lewat internet semakin mengukuhkan hegemoni nilai eksternal dan memarginalkan nilai lokalitas, identitas kita tou Minahasa. Padahal kita akan lebih mampu eksis dengan identitas kita, dengan tumbuh berdasar budaya kita yang merupakan segala ilmu pengetahuan kehidupan yang harusnya diwariskan dari generasi ke generasi.
Kita memang sedang bahkan telah menjadi sang penikmat dalam serangkaian kemajuan peradaban global. Dan saking asyiknya menjadi penikmat, tanpa sadar kita telah dibuat mabuk dengan kenikmatan zaman. Tahulah kita bagaimana orang yang mabuk itu. Pasti orang mabuk akan lupa diri dan tak tahu apa yang diperbuat dan akan diperbuat.
Kita bukannya hendak memusuhi segala kemajuan itu, yang dibutuhkan adalah kemampuan kita untuk bukan hanya menjadi penikmat tetapi penentu dengan kemampuan kreatif-inovatif kita berbasiskan keparipurnaan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Yang dibutuhkan adalah kemampuan kita memilih mana yang patut kita nikmati. Yang dibutuhkan adalah kemampuan kita menjadi penikmat hasil jerih payah kita sendiri, keunggulan kita sendiri. Menjadi penikmat indahnya identitas kita, Tou Minahasa. Wangko genangku wia niko, Minahasaku…… (Meidy Y. Tinangon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar